Seorang pemimpin
dinilai bagaimana dia bersikap dan bertindak dalam
kepemimpinannya. Salah satu yang terpenting adalah kemampuan seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan, efektifitas
sebuah kebijakan dan bagaimana dampak atas kebijakan tersebut.
Sebuah
keputusan lahir dari sebuah proses berpikir. Bermula dari cara pandang
seseorang dalam menilai sesuatu yang kemudian berpengaruh terhadap cara
berpikirnya. Cara berpikir yang dilandasi cara pandang tadi akan
menjadi penentu, tepat atau tidaknya keputusan seorang pemimpin dalam
mengambil kebijakan.
Kebijakan seorang pemimpin seringkali
berpengaruh terhadap banyak orang dan ruang lingkup serta waktu yang
lebih luas. Kesalahan dalam mengambil sebuah keputusan dalam memilih
sebuah kebijakan akan berujung pada kegagalan suatu program atau bahkan
kehancuran sebuah negara dan bangsa.
Cara
berpikir Muhammad saw yang lurus terlahir dari cara pandangnya yang
juga lurus terhadap hidup dan kehidupan ini. Cara berpikir yang lurus
tadi menghasilkan sebuah keputusan yang tepat sekaligus dapat diterima
semua pihak.
Inilah cara berpikir Muhammad saw tersebut :
- Abu Bakar Assidiq
yang bersifat percaya sepenuhnya kepada Muhammad saw, adalah sahabat
utama. Ini bermakna kepercayaan dari orang lain adalah modal utama
seorang pemimpin.
- Umar ibnu Khattab
bersifat kuat, berani dan tidak kenal takut dalam menegakkan
kebenaran. Ini bermakna kekuasaan akan efektif apabila ditunjang oleh
semangat pembelaan terhadap kebenaran dengan penuh keberanian dan
ditunjang kekuatan yang memadai.
- Ustman ibnu Affan
adalah seorang pedagang kaya raya yang rela menafkahkan seluruh harta
kekayaannya untuk perjuangan Muhammad saw. Faktor ketiga yang tidak
kalah penting adalah pendanaan. Sebuah kepemimpinan akan lebih lancar
apabila ditunjang kondisi ekonomi yang baik dan keuangan yang
lancar. Dan juga dibutuhkan pengorbanan yang tulus dari pemimpinnya
demi kepentingan orang banyak.
- Ali ibnu Abi Thalib
adalah seorang pemuda yang berani dan tegas, penuh ide kreatif, rela
berkorban dan lebih suka bekerja dari pada bicara. Kepemimpinan akan
menjadi semakin kuat karena ada regenerasi. Tidak ada pemimpin yang
berkuasa selamanya, dia perlu menyiapkan penerus agar rencana-rencana
yang belum terlaksana bisa dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Ketika
etnik Yahudi yang berada di dalam kekuasaan kaum Muslimin meminta
perlindungan kepadanya dari gangguan orang Islam di Madinah, beliau
sampai mengeluarkan pernyataan : Bahwa barang siapa yang mengganggu dan
menyakiti orang-orang Yahudi yang meminta perlindungan kepadanya, maka
sama dengan menyatakan perang kepada Allah dan Rasulnya. Padahal
tindakan demikian bisa menjatuhkan kredibilitas Beliau di mata
kelompok-kelompok etnik Arab yang sudah lama memusuhi etnik Yahudi.
Ketika dia menyampaikan
perintah Allah Swt kepada umat untuk mengeluarkan zakat hartanya hanya
sebesar 2,5 bagian saja dari harta mereka, dia bahkan menyerahkan
seluruh hartanya untuk perjuangan dan tidak menyisakan untuknya dan
keluarganya, kecuali rumah yang menempel di samping mesjid, satu dua
potong pakaian dan beberapa butir kurma atau sepotong roti kering untuk
sarapan. Sampai-sampai tidurnya hanya di atas pelepah korma.
Seperti
pernah dia bertanya kepada Aisyah ra. Istrinya apakah hari itu ada
sepotong roti kering atau sebiji korma untuk dimakan. Ketika istrinya
berkata bahwa tidak ada semua itu, maka Muhammad Saw mengambil batu dan
mengganjalkannya ke perut untuk menahan lapar.
“Seandainya
kalian letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku,
maka aku tidak akan berhenti dalam menyampaikan risalah ini.” Demikian
Muhammad Saw berkata kepada para pemimpin Quraisy yang mencoba menyuap
Muhammad Saw dengan harta benda, menjanjikan kedudukan tertinggi di
kalangan suku-suku Arab dan juga menyediakan wanita-wanita cantik
asalkan Muhammad Saw mau menghentikan dakwahnya di kalangan mereka.
6 Prinsip Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
COBAAN DALAM SUDUT PANDANG ISLAM
Di dalam ajaran Islam, Allah swt mengatakan di dalam Al Quran bahwa manusia diciptakan tidak lain hanyalah untuk mengabdi/beribadah kepada Allah swt. Artinya, jika ada manusia yang tidak mau beribadah kepada Allah swt maka ia tidak patut untuk hidup. Ibadah kepada Allah swt, itulah perjuangan hidup yang diajarkan di dalam Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bermalas-malasan. Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang, karena Islam mengajarkan bahwa Allah swt tidak akan merubah nasib suatu kaum melainkan kaum itu sendirilah yang harus berjuang untuk merubahnya. Sama saja dengan seorang karyawan yang direkrut untuk bekerja, kalau dia tidak mau bekerja maka berhenti saja menjadi karyawan. Satu hal yang identik dengan perjuangan adalah adanya cobaan. Cobaan adalah salah satu bagian dari setiap perjuangan yang tidak dapat dihindarkan, pasti dialami dan dirasakan oleh setiap manusia dalam perjalanan hidup. Cobaan memang terkadang terasa sangat berat, sehingga banyak sekali manusia yang merasa sangat menderita manakala mendapatkan cobaan dari Allah swt. Bahkan ada pula yang nekat mengakhiri hidupnya karena tidak mampu untuk bertahan dengan cobaan yang tengah dialaminya.
Umat muslim tidak pantas bersikap demikian. Putus asa dan terjebak dalam duka yang tak berkesudahan bukanlah sifat seorang muslim. Seorang muslim hendaknya senantiasa optimis dan berpikiran positif. Berbaik sangka kepada yang telah memberikan cobaan, yaitu Allah swt adalah jalan terbaik yang diajarkan oleh Islam. Karena sesungguhnya Allah swt akan menjawah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jika hambanya berprasangka buruk, maka keburukanlah yang akan diterimanya. Namun, jika hambanya senantiasa berbaik sangka maka Allah swt pun akan memberikan kebaikan kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt di dalam sebuah hadits qudsi yang artinya: “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HR. Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675, lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53) Islam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa tidak ada sesuatu apapun yang telah diciptakan di dunia ini melainkan pasti ada manfaatnya. Tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, dan tidak ada pula yang diciptakan tanpa tujuan. Allah swt telah memperhitungkannya dengan sangat sempurna. Bahkan Islam mengajarkan bahwa setiap cobaan itu merupakan salah satu bentuk pembersih dari dosa-dosa yang telah diperbuat, cobaan merupakan tanda cinta dari Allah swt. Semakin Allah swt mencintai seorang hamba maka semakin banyak cobaan yang akan diberikan-Nya. Hal itu tidak lain hanyalah untuk semakin meningkatkan rasa cinta dan kedekatan umatnya kepada-Nya. Islam memandang cobaan sebagai suatu pelajaran yang bernilai positif, bukan sebagai satu hal yang negatif. Begitulah kacamata Islam, selalu mengajarkan untuk melihat dengan kacamata positif. Cobaan merupakan gudang hikmah yang sangat berharga. Banyak hikmah yang dapat dipetik melalui sebuah cobaan, di antaranya adalah: Cobaan adalah Pembersih Dalam kacamata Islam, cobaan yang menimpa seorang muslim sebenarnya adalah bukti kasih sayang Allah swt kepada umat-Nya. Karena, dengan cobaan itulah Allah swt akan membersihkan seseorang dari dosa-dosanya yang telah overload. Kalau dosa-dosa tersebut tidak dibersihkan, tentu saja akan mencelakakan manusia tersebut. Pembersihan dilakukan oleh Allah swt untuk mengurangi siksa Allah swt yang pedih di akhirat kelak. Allah swt pun tidak menginginkan hamba-Nya menemui-Nya dalam keadaan penuh dengan dosa, sehingga Allah swt membersihkan atau menghisapnya terlebih dahulu. Itulah salah satu bentuk kasih sayang Allah swt kepada umat-Nya. Dan itulah salah satu wujud indahnya berada di dalam naungan Islam.
Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR. At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143) Penyempurna Keimanan Dalam ajaran Islam, cobaan merupakan salah satu media yang dapat menyempurnakan keimanan seseorang. Karena, kesempurnaan iman dapat dilihat dari keitiqomahannya untuk tetap taat kepada Allah swt baik dalam keadaan senang maupun susah.
Rasulullah saw bersabda mengenai bagaimanakah sifat seorang muslim yang sebenarnya, yang artinya: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Mengingatkan Umatnya Islam juga menganggap cobaan sebagai alarm pengingat pesan bagi seluruh umatnya. Dengan cobaan itulah, Allah swt senantiasa mengingatkan manusia bahwa mereka itu adalah makhluk yang lemah, tiada daya dan upaya kecuali atas izin dan kehendak Allah swt. Tidak ada yang patut dibanggakan atau disombongkan.
Rasulullah saw telah berfirman yang artinya: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Bukhari no. 6053) Hadits di atas jelas sekali mengingatkan umat Islam bahwa hidup ini hanyalah ibarat sebuah perjalanan, yang suatu saat pasti akan berakhir atau mencapai tempat tujuannya, yaitu kampung akhirat. Dengan adanya cobaan, maka umat muslim akan senantiasa diingatkan bahwa di dunia ini tidak ada yang kuat dan tidak ada pula yang abadi.
Semua akan kembali kepada Allah swt.
CIRI CIRI PENGHUNI SURGA
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
Allah ta’ala menyatakan,
Allah ta’ala berfirman,
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
Allah ta’ala berfirman,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
MUSIBAH DAN BENCANA
Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan, bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana/musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-lah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.
Sebenarnya yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa kita, maka segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah. ...
Siapa saja berbuat kebaikan, maka manfaatnya akan kembali kepadanya. Sedangkan siapa saja berbuat kejahatan, maka bencananya juga akan kembali kepada dirinya sendiri. Bisa dibalas didunia atau di akhirat.
Firman allah SWT berikut ini : ”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. (QS. Al Mukmin [40] : 40).
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An Nissa [4] : 79)
Musibah dapat dibedakan dengan azab dan bala. Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar kehidupan masa depan kita dapat dijalani dengan lebih baik.
Jalanilah kehidupan ini dengan datar dan lurus. Kekuatan tawakkal dan ikhlas akan meberikan power dan keajaiban di dalam diri kita.
Dengan diawali kalimat negasi, menafikan segalanya, kalau perlu menafikan keberadaan wujud kita sendiri. Seolah-olah yang ada dan eksis di jangat ini hanyalah Dia, Allah SWT. Kita melenyapkan hakekat dan substansi diri kita lalu larut kepada suatu Wujud Yang Maha Abadi. Kita bagaikan mayat yang hanyut di sungai, ke mana pun sungai itu bermuara di situlah kita akan dibawa. Terimalah dirinya apapun adanya, karena semua orang membawa takdir dirinya masing-masing.
Ma’rifah seperti ini lebih mudah muncul ketika kita sedang sujud di atas hamparan sajadah di hadapan kebesaran Allah Swt. Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu, hilangkanlah semuanya, kalau perlu lupakanlah keberadaan dirinya, seolah-olah yang ada hanyalah Dia Sendiri.
Tidak ada lagi sosok yang ditipa musibah, tidak ada juga sosok orang yang mendatangkan musibah, tidak ada lagi dendam dan tidak ada lagi yang sakit. Semuanya kembali dan menyatu dengan-Nya. Seolah musibah itu datang untuk menghapus memori gelap masa lampau kita.
Ikhlas yang sesungguhnya memberikan rasa optimisme ke dalam diri setiap orang. Orang yang menjalani keikhlasan penuh tidak akan pernah merasa sedih, sakit, lelah, dan kecewa, karena semua yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Karya dan pengabdian yang dilakukan bukan karena Allah SWT itulah yang sering menyedot energi batin seseorang. Yang bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.
Bahkan sakit karena harapannya berbeda dengan respons yang diberikan orang lain terhadapnya. Jika semunya kita niatkan seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT maka hidup ini pasti tenang, tidak akan merasa kecewa, tidak akan bersedih, tidak pernah merasa jatuh, dan mungkin tidak akan pernah lagi kita merasa sakit.
Cinta Sejati Seorang Ibu Terhadap Anaknya
Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal." Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah; solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia sebaik sahaja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari.. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah . Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bundanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair, "Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi." Kemudian ia maju menentang setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair, "Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mush-musuh bersama-sama Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah." Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair, "Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cakap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang sayang anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi." Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair, "Bukanlah aku putera Khansa', bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana 'Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku." Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bondanya yang berada di garis belakang.
Memperkenalkan Keteladanan Nabi Muhammad Saw
Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong orang disekitarnya. Ia seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar ilmu bersyair dan dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam. Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentera akan melawan ratusan ribu tentara Farsi. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam. Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang, "Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara-maramu, aku tidak pernah merendahkan keturuna kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahwasanya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa." Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, "Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung." Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya. Seterusnya Khansa berkata, "Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak, masuklah kamu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal." Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah; solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia sebaik sahaja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari.. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah . Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bundanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair, "Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi." Kemudian ia maju menentang setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair, "Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mush-musuh bersama-sama Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah." Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair, "Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cakap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang sayang anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi." Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair, "Bukanlah aku putera Khansa', bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana 'Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku." Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu. Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi yang lannya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka. Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil sahaja yang dapat menyelamatkan diri. Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan diantara syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa. Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahawa keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan, "Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengharapkan dari Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!" Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan 'Ummu syuhada yang artinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid."
MAKNA IDUL ADHA BAGI KEHIDUPAN
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yg banyak. Maka dirikanlah salat krn Tuhanmu dan sembelihlah hewan . Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yg terputus
.
ANAK ASUH MADINAH SYARIAH SUPERMARKET
Pada
hari SABTU, 17 Oktober 2009 Madinah Syariah Supermarket telah
memberikan Beasiswa kepada Anak Asuh Madinah Syariah melalui Rumah Zakat
Indonesia. Uang tersebut diperoleh dari Konsumen Madinah Syariah yang telah menginfaqkan uang kembaliannya.
Kesan : Saya merasa senang karena adanya Beasiswa ini saya merasa tidak terancam sekolah dan bias terus semangat belajar.
Pesan : Mudah-mudahan dengan mendapat bantuan bisa menjadi satu motivasi agar dapat menjalani kehidupan dengan sikap selalu tegar dan tidak selalu mengharap pada orang lain.